KERAJAAN
SERAWAK (KUCHING)
Yang pertama kali mendirikan Kerajaan di wilayah Sarawak adalah seorang
Pangeran dari Kesultanan Brunei yaitu Pangeran Muda Tengah bin Sultan Muhammad
Hasan, Sultan Brunei ke-9. Berdirinya Kerajaan Sarawak ini bermula ketika wilayah
Sarawak itu diberikan kepada Pangeran Muda Tengah oleh Abangnya yang adalah
Sultan Brunei yang memerintah pada saat itu yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar.
Maka kemudian pada sekitar tahun 1627 M didirikanlah Kesultanan Sarawak yang
merupakan Kerajaan pertama di wilayah Sarawak dengan Pangeran Muda Tengah bin
Sultan Muhammad Hasan sebagai Sultan Sarawak / Raja Sarawak yang pertama dengan
gelar Sultan Ibrahim Ali Omar
Shah yang lebih populer
dengan sebutan Sultan Tengah atau Raja
Tengah dengan pusat pemerintahan
disekitar Kota Kuching sekarang. Dengan demikian berarti Sultan Tengah atau
Raja Tengah inilah yang pertama kali membuka wilayah yang kemudian menjadi Kota
Kuching yang sekarang ini. Sultan Tengah / Raja Tengah itu kemudian menurunkan
zuriatnya di Sambas yang mana keturunan Baginda itu kemudian turun temurun
menjadi Sultan-Sultan Sambas. Namun demikian setelah Sultan Tengah wafat pada
sekitar tahun 1657 M, karena situasi dan kondisi tertentu, anak Baginda tidak
diangkat sebagai penggantinya yang meneruskan tahta Kesultanan Sarawak itu
tetapi Negeri Sarawak itu kemudian dikembalikan ke pemerintahan Kesultanan
Brunei yang kemudian oleh Sultan Brunei diangkat seorang Wakil Sultan Brunei di
wilayah Sarawak itu dengan gelar Pangeran
Indra Mahkota. Sehingga dengan demikian Sultan Tengah atau Raja Tengah itu
adalah Sultan Sarawak yang pertama dan sekaligus sebagai Sultan Sarawak yang
terakhir.
Selanjutnya pada masa Pangeran Indra Mahkota yang ke-3 yaitu Pangeran
Indra Mahkota Muhammad Saleh, yaitu pada sekitar tahun 1834 M, seorang Saudagar
yang juga mantan tentara British yang bernama James Brooke datang ke Sarawak
dan bertemu dengan Pangeran Indra Mahkota Muhammad Saleh itu. James Brooke ini
yang memang sangat berambisi untuk menjadi Seorang Raja Melayu itu kemudian
melihat peluang bahwa ia dapat memperoleh kekuasaan di wilayah Sarawak ini.
Maka kemudian setelah berhasil mempengaruhi Pangeran Muda Hasyim yaitu seorang
tangan kanan (kepercayaan) Sultan Brunei saat itu, Pangeran Indra Mahkota
Muhammad Saleh disingkirkan dan kemudian sebagai gantinya James Brooke diangkat
oleh Sultan Brunei sebagai Gubernur di wilayah Sarawak itu. Dalam waktu kurang
dari 10 tahun kemudian James Brooke dengan strategi liciknya berhasil
mengkhianti Sultan Brunei sehingga kemudian wilayah Sarawak terlepas dari
kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu pada tahun 1842 M. Setelah itu maka James
Brooke mengumumkan dirinya sebagai "Raja" yang kemudian disebut orang
dengan sebutan Raja Putih
Sarawak. Setelah menjadi Raja Sarawak yang wilayah pemerintahannya
berdampingan dengan pemerintahan Kesultanan Brunei, James Brooke ini dengan
berbagai strategi licik dan kekuatannya yang semakin besar dengan tentunya
dukungan British dibelakangnya, kembali merongrong wilayah kekuasaan Kesultanan
Brunei lainnya sehingga dari masa ke masa wilayah Kesultanan Brunei menjadi
semakin kecil hinggalah seperti yang ada sekarang ini.
Dengan demikian urutan pemerintahan yang pernah memerintah di wilayah
Sarawak adalah : Kesultanan Sarawak dibawah pemerintahan Sultan Ibrahim
Ali Omar Shah yang populer dengan sebutan Sultan Tengah atau Raja Tengah dari
tahun 1627 M hingga tahun 1657 M, kemudian digantikan dengan pemerintahan Wakil
Sultan Brunei di Sarawak dengan gelar Pangeran Indra Mahkota, mulai dari
Pangeran Indra Mahkota ke-1 hingga Pangeran Indra Mahkota ke-7 yaitu dari tahun
1657 M hingga tahun 1834 M, lalu digantikan dengan pemerintahan Gubernur
Sarawak James Brooke yang berada dibawah Kesultanan Brunei dari tahun 1840 M
sampai tahun 1842 M, lalu pemerintahan James Brooke dan keturunannya sebagai
Raja Putih Sarawak dari tahun 1842 M hingga diserahkannya kekuasaan
pemerintahan Sarawak itu oleh Pemerintah Britania kepada Pemerintahan
Persekutuan Tanah Melayu hingga kemudian menjadi Pemerintahan Negeri Sarawak
seperti yang ada sekarang ini.
KERAJAAN
MINDANAO
Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah
Filipina Selatan, khususnya kepulauanSulu
dan Mindanao pada tahun 1380 M berlaku apabila seorang tabib
dan ulama Arab bernamaKarimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat
sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam
di kepulauan tersebut iaitu pada akhir kurun ke-14 M.
Menurut catatan sejarah,
RajaBaguinda
adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat). Beliau tiba di
kepulauanSulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan
Zamboanga dan Basilan.Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dariManguindanao memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah
Mindanao inimulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan
dan peraturan hukum yaitu
Manguindanao Code of Law
atau Luwaran yang didasarkan atasMinhaj dan
Fathu-i-Qareeb ,Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa
di Wilayah Davao di bahagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam
disebarkanke pulau Lanao dan bahagian utara
Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai
kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam
yang bergelar Datuk atau Raja. Menurut ahli sejarah, kota Manila (ibu kota
Filipina sekarang) berasaldari kata Amanullah
(negeri Allah yang aman).
Ini dibuktikan
lagi dengan kenyataan catatanKapten Thomas Forrest semasa beliau singgah
di Mindanoa dan Sulu pada tahun 1775M, agamaIslam
telah berkembang di sana sejak 300 tahun yang lalu dan dari sini boleh
dianggarkan bahawa Syarif telah
tiba di tempat itu dalam tahun 1475 M. Di samping itu, mengikut
catatanorang-orang Sepanyol yang datang ke kepulauan ini, Mindanoa dan Sulu
dalam tahun 1512 M,telah mendapati ramai orang-orang yang telah memeluk agama
Islam di beberapa daerah dikepulauan itu, tetapi masih banyak lagi penduduk di
bahagian utara kepulauan itu yang belumlagi beragama. Orang-orang Islam
di daerah-daerah ini telah lama mengadakan hubungan dengansaudagar-saudagar
Islam di Tanah Jawa, Tanah Melayu, China dan India.Merujuk kepada peranan
yang dimainkan oleh Syarif Muhammad Kabungsuwan, proses pengislaman di
kawasan-kawasan ini telah dijalankan melalui ikatan-ikatan politik dan beberapa perkahwinan oleh Kabungsuwan selepas beliau
berjaya mengukuhkan diri sebagai pemerintahsuatu pertempatan tertentu yang sekarang ini mungkin dipanggil Malabang. Kedatangan
Kabungsuwan dari Johor sekitar 1515 iaitu
pada abad ke-16 telah membentuk kerajaan Muslimdi Mindanao. Namun ia tidak
disebutkan kerana kedatangan mereka adalah bertujuan untuk mengukuhkan
politik masing-masing seperti Syarif Awliya serta Syarif Hasan dan Syarif MarajaBersaudara.
20
Mereka ini adalah berketurunan Arab dan bertanggungjawab membuka pertempatan pertama
di kawasan Lembah Pulangi. Peringkat inilah tergolongnya Syarif Awliyadan Syarif Maraja. Selepas itu, iaitu dalam suku
pertama abad ke-16, barula Kabungsawanmuncul dan melakukan proses
Islamisasi. Pengislaman di Mindanao bermula agak lewatdaripada yang berlaku di Sulu. Tetap, pengislaman
Sulu yang memberi bantuan kepada orang-orang Maranao dan pengislaman orang
Sarangani dalam bahagian pertama pada suku abad ke-17. Pada masa ini,
keluarga-keluarga pemerintah Mindanoa mengalakkan hubungan perkahwinanantara
keluarga diraja Sulu dan Tarnate
KERAJAAN HALMAHERA
Wilayah Maluku Utara pada abad ke-18
secara politis terbagi kedalam empat kerajaan Islam, atau dikenal sebagai empat
kesultanan Moluku Kie Raha yang bertetangga dekat, yakni: Kesultanan Ternate,
Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Jailolo. Namun ada satu kerajaan Islam lagi
yang berlokasi cukup jauh dari ketiga kerajaan ini, yakni Kesultanan Bacan.
Ketiga kerajaan yang bertetangga dekat ini memiliki hubungan formal dan tertulis dengan VOC yang berkepentingan mengamankan monopoli rempah-rempahnya di Jazirah Moluku Kie Raha. Kesultanan Ternate dan Tidore memiliki wilayah kekuasaan yang mencakup hampir seluruh kawasan Maluku Utara kini hingga Irian Barat, dan bagian-bagian tertentu dari pesisir Sulawesi bagian Timur. Sedangkan Kesultanan Bacan memiliki wilayah kekuasaan yang sempit, terbatas pada Pulau Bacan dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, dimana pada waktu itu masih banyak yang belum berpenghuni.
Sebelum abad ke-17, ada satu kerajaan Islam, Kesultanan Jailolo, yang berpusat di Pulau Halmahera, pulau terbesar di Maluku Utara. Menurut legenda yang sempat dicatat sampai abad ke-14, kesultanan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku Utara hingga pada akhir abad ke-17 tidak tercatat lagi secara administratif karena dianeksasi oleh Kesultanan Ternate dengan bantuan VOC.
Sejak saat itu, seluruh kawasan di utara dan selatan Pulau Halmahera tergabung ke dalam wilayah kekuasaan Ternate. Sedangkan wilayah tengah Halmahera menjadi bagian kekuasaan Tidore. Sistem pemerintahan yang dibangun di Halmahera kemudian disesuaikan dengan kepentingan VOC. Membangun kantor perwakilan untuk penyediaan tenagakerja murah dan bahan pangan. Salahsatu metode yang diterapkan adalah sistem upeti.
Setelah peristiwa aneksasi Kesultanan Jailolo oleh Kesultanan Ternate, muncul kembali upaya menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dari masyarakat Halmahera Utara. Upaya itu dimulai pada dekade pertama abad ke-19. Sayangnya hingga pertengahan abad ke-19, upaya itu tidak berkelanjutan.
Adanya pergolakan di kalangan masyarakat Halmahera sendiri menyangkut kepentingan politis diantara mereka, juga kemungkinan adanya campur tangan dari Ternate agar Jailolo tidak bangkit kembali. Kolektifitas masyarakat Halmahera bagian utara sendiri terpecah dua. Pertama, kelompok masyarakat Halmahera Timur, dan kedua, kelompok masyarakat kawasan Tobelo/distrik Kau (Halmahera Mara).
Ketiga kerajaan yang bertetangga dekat ini memiliki hubungan formal dan tertulis dengan VOC yang berkepentingan mengamankan monopoli rempah-rempahnya di Jazirah Moluku Kie Raha. Kesultanan Ternate dan Tidore memiliki wilayah kekuasaan yang mencakup hampir seluruh kawasan Maluku Utara kini hingga Irian Barat, dan bagian-bagian tertentu dari pesisir Sulawesi bagian Timur. Sedangkan Kesultanan Bacan memiliki wilayah kekuasaan yang sempit, terbatas pada Pulau Bacan dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, dimana pada waktu itu masih banyak yang belum berpenghuni.
Sebelum abad ke-17, ada satu kerajaan Islam, Kesultanan Jailolo, yang berpusat di Pulau Halmahera, pulau terbesar di Maluku Utara. Menurut legenda yang sempat dicatat sampai abad ke-14, kesultanan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku Utara hingga pada akhir abad ke-17 tidak tercatat lagi secara administratif karena dianeksasi oleh Kesultanan Ternate dengan bantuan VOC.
Sejak saat itu, seluruh kawasan di utara dan selatan Pulau Halmahera tergabung ke dalam wilayah kekuasaan Ternate. Sedangkan wilayah tengah Halmahera menjadi bagian kekuasaan Tidore. Sistem pemerintahan yang dibangun di Halmahera kemudian disesuaikan dengan kepentingan VOC. Membangun kantor perwakilan untuk penyediaan tenagakerja murah dan bahan pangan. Salahsatu metode yang diterapkan adalah sistem upeti.
Setelah peristiwa aneksasi Kesultanan Jailolo oleh Kesultanan Ternate, muncul kembali upaya menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dari masyarakat Halmahera Utara. Upaya itu dimulai pada dekade pertama abad ke-19. Sayangnya hingga pertengahan abad ke-19, upaya itu tidak berkelanjutan.
Adanya pergolakan di kalangan masyarakat Halmahera sendiri menyangkut kepentingan politis diantara mereka, juga kemungkinan adanya campur tangan dari Ternate agar Jailolo tidak bangkit kembali. Kolektifitas masyarakat Halmahera bagian utara sendiri terpecah dua. Pertama, kelompok masyarakat Halmahera Timur, dan kedua, kelompok masyarakat kawasan Tobelo/distrik Kau (Halmahera Mara).
KERAJAAN DI PAPUA
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis antara bulan September-Oktober tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah pengaruh mandala Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni kerajaan Hindu di Kepulauan Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit. Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama, misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut: " Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis antara bulan September-Oktober tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah pengaruh mandala Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni kerajaan Hindu di Kepulauan Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit. Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama, misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut: " Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".
Dalam
bukunya "Neiuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula
pengaruh kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese
hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi
kerajaan Bacan dimana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan).[1] Menurut sejarah lisan
orang Biak, dulu ada hubungan dan
pernikahan antara para kepala suku mereka dan para sultan Tidore. Suku Biak merupakan suku
Melanesia terbanyak yang menyebar di pantai utara Papua, karena itu bahasa Biak
juga terbanyak digunakan dan dianggap sebagai bahasa persatuan Papua. Akibat
hubungan daerah-daerah pesisir Papua dengan Sultan-Sultan Maluku maka terdapat
beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini, yang menunjukkan masuknya
sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya asli etnik Papua.
Kerajaan-kerajaan tersebut diantaranya :
Di
Kepulauan Raja
Ampat yang
terletak di lepas pantai pulau Papua terdapat empat
kerajaan tradisional yang termasuk wilayah mandala kesultanan Bacan dan kesultanan
Ternate,
masing-masing adalah kerajaan Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai,
pulau Waigeo; kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaan di Samate, pulau Salawati Utara;
kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaan di Sailolof, pulau Salawati Selatan,
dan kerajaan Misol, dengan pusat kekuasaan di Lilinta, pulau Misol.
KERAJAAN HITU
Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan ini memiliki masa kejayaan
antara 1470-1682 dengan raja pertama yang
bergelar Upu Latu Sitania (raja
tanya) karena Kerajaan ini
didirikan oleh Empat Perdana yang ingin mencari tahu
faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan
para pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku
sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme
barat ke wilayah Nusantara.
Kerajaan ini memiliki hubungan erat
dengan barbagai kerajaan Islam di Pulau Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan Banten, Sunan Giri di Jawa Timur dan Kesultanan Gowa di Makassarseperti dikisahkan oleh Imam
Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu pula hubungan
antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk; semenanjung raja-raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.
Periode kedatangan Empat Perdana Hitu
Kedatangan
Empat Perdana itu ke Tanah Hitu secara periodik :
1. Pendatang Pertama adalah Pattisilang Binaur
dari Gunung Binaya (Seram Barat) kemudian ke Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah
Hitu, tahun kedatangannya tidak tertulis.
Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
2. Pendatang Kedua adalah Kiyai Daud dan Kiyai
Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri dengan saudara Perempuannya bernama
Nyai Mas.
§
Menurut
silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah
anak dari :
Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah bintiRasulullah.
Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah bintiRasulullah.
Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
§
Disana
mereka temukan Keramat atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu karang.
Tempat itu bernama Hatu Kursi atau Batu Kadera (Kira-Kira 1 Km dari Negeri
Hitu). Peristiwa kedatangan beliau tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan
cerita turun – temurun.
§
Perdana
Tanah Hitu Tiba di Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a) pada
tahun 1440 pada
malam hari, dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete artinya hitam gelap gulita
sesuai warna alam pada malam hari.
§
Mereka
tinggal disuatu tempat yang diberi nama sama dengan asal Ibu mereka yaitu Tuban
/ Ama Tupan (Negeri Tuban) yakni Dusun Ama Tupan/Aman Tupan sekarang kira-kira
lima ratus meter di belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya di
Pesisir Pantai yang bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti.
§
Perdana
Pattikawa disebut juga Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya orang yang
pertama mendirikan negerinya di Pesisir pantai, nama negeri tersebut menjadi
nama soa atau Ruma Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu.
3. Kemudian datang lagi Jamilu dari Kerajaan
Jailolo . Tiba di Tanah Hitu pada Tahun 1465 pada
waktu magrib dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau warna merah
(warna bunga) sesuai dengan corak warna langit waktu magrib. Mendirikan
negerinya bernama Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama marganya
yaitu Lating. Jamilu disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi, Nustapi
artinya Pendamai, karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah
Hitu dengan Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau, dia juga
digelari Kapitan Hitu I.
4. Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti
dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu
pada waktu asar (Waktu Salat) sore hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo
Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada waktu Ashar (waktu salat).
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistem pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistem pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
KERAJAAN DOMPU
Kerajaan Dompu yang kini menjadi Kabupaten Dompu merupakan sebuah kerajaan kuno di Indonesia. Kerajaan ini terletak di antara kabupaten Bima dan kabupaten Sumbawa saat ini. Mayoritas penduduk kini
beragama Islam, dengan tradisi dan budaya yang juga mayoritas Islam.
Bangsawan Dompu atau keturuan raja-raja hingga kini masih ada. mereka
dipanggil "Ruma" atau "Dae". Istana Dompu, sebagai lambang
kebesaran telah lama lenyap. Konon bangunan istana itu sudah diubah menjadi masjid raya Dompu saat ini. Namun rumah kediaman raja
masih ada hingga sekarang dan terletak di Kelurahan Bada.
Pada tahun 2000-an, tim peneliti dari Jakarta, yang dipandu langsung
oleh Bupati Dompu H Abubakar Ahmad menemukan situs
berupa tapak kaki Gajah Mada di wilayah Hu'u sekitar 40 kilometer dari pusat kota Dompu.[rujukan?] Banyak yang meyakini Mahapatih Gajah
Mada tewas dan atau menghabiskan sisa hidupnya di daerah ini.
KERAJAAAN SORONG
Menurut sejarah, nama Sorong diambil
dari nama sebuah perusahan Belanda yang pada saat itu diberikan otoritas atau
wewenag untuk mengelola dan mengeksploitasi minyak di wilayah Sorong yaitu
Seismic Ondersub Oil Niew Guines atau disingkat SORONG pemerintah tradisonal di
wilayah Kabupaten Sorong awal mulanya dibentuk oleh Sultan Tidore guna
perluasan wilayah kesultanan dengan diangkat 4 (empat) orang Raja yang
disebut Kalano Muraha atau Raja Ampat . Keempat raja itu diangkat sesuai
dengan 4 pulau besar yang tersebar dari gugusan pulau-pulau dengan
wilayah kekuasaan adalah sebagai berilkut :
a. Raja Fan Gering menjadi Raja di pulau Waigeo
b. Raja Fan Malaba menjadi Raja di Pulau Salawati
c. Raja Mastarai menjadi Raja di Pulau Waigama
d. Raja Fan Malanso menjadi Raja di Lilinta Pulau Misool
KERAJAAN PARIAMAN
a. Raja Fan Gering menjadi Raja di pulau Waigeo
b. Raja Fan Malaba menjadi Raja di Pulau Salawati
c. Raja Mastarai menjadi Raja di Pulau Waigama
d. Raja Fan Malanso menjadi Raja di Lilinta Pulau Misool
KERAJAAN PARIAMAN
Pariaman di zaman lampau merupakan
daerah yang cukup dikenal oleh pedagang bangsa asing semenjak tahun 1500an.
Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang
pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Ia mencatat telah
ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus.
Dua tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.
Kemudian, datang bangsa Perancis sekitar tahun 1527 dibawah komando seorang politikus dan pengusaha yakni Jean Ango. Ia mengirim 2 kapal dagang yang dipimpin oleh dua bersaudara yakni Jean dan Raoul Parmentier. Kedua kapal ini sempat memasuki lepas pantai Pariaman dan singgah di Tiku dan Indrapura. Tapi anak buahnya merana terserang penyakit, sehingga catatan dua bersaudara ini tidak banyak ditemukan.
Tanggal 21 November 1600 untuk pertama kali bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman, yaitu 2 kapal di bawah pimpinan Paulus van Cardeen yang berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan kemudian disusul oleh kapal Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda Kelapa tahun 1596 juga melewati perairan Pariaman.
Tahun 1686, orang Pariaman (Pryaman seperti yang tertulis dalam catatan W. Marsden) mulai berhubungan dengan Inggris.
Dua tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.
Kemudian, datang bangsa Perancis sekitar tahun 1527 dibawah komando seorang politikus dan pengusaha yakni Jean Ango. Ia mengirim 2 kapal dagang yang dipimpin oleh dua bersaudara yakni Jean dan Raoul Parmentier. Kedua kapal ini sempat memasuki lepas pantai Pariaman dan singgah di Tiku dan Indrapura. Tapi anak buahnya merana terserang penyakit, sehingga catatan dua bersaudara ini tidak banyak ditemukan.
Tanggal 21 November 1600 untuk pertama kali bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman, yaitu 2 kapal di bawah pimpinan Paulus van Cardeen yang berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan kemudian disusul oleh kapal Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda Kelapa tahun 1596 juga melewati perairan Pariaman.
Tahun 1686, orang Pariaman (Pryaman seperti yang tertulis dalam catatan W. Marsden) mulai berhubungan dengan Inggris.
Sebagai
daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan
dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad
silam. Pelabuhan entreport Pariaman saat itu sangat maju. Namun seiring dengan
perjalanan masa pelabuhan ini semakin sepi karena salah satu penyebabnya adalah
dimulainya pembangunan jalan kereta api dari Padang ke Pariaman pada tahun 1908.
KERAJAAN PALEMBANG
KERAJAAN PALEMBANG
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kerajaan ini diproklamirkan
oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa[1] dan dihapuskan oleh pemerintah
kolonialBelanda pada 7 Oktober 1823.
Berdasarkan kisah Kidung
Pamacangah dan Babad
Arya Tabanan[2] disebutkan seorang tokoh dari Kediri
yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama
dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C.
Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[3] Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan
sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat
dalam Pararaton juga telah menyebut Palembang sebagai
sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.
Daftar Sultan Palembang
KERAJAAN
BANJAR
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin[9][10][11][12][13][14][15][16] (berdiri 1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah kesultananwilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota diBanjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin.
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan
Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara,
sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Wilayah Kesultanan Banjar
Wilayah Kesultanan Banjar Raya adalah negeri-negeri yang menjadi
wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar khususnya sampai pertengahan abad
ke-17 dan abad sebelumnya. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan
Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 distrik besar di
Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang
(Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung).[37] Sejak awal abad ke-16 berdirilah
Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah
penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan
Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan
paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan
Sambas kuno)
sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Banjar
Kulan/Buranun).
Pada mulanya ibukota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian
pindah ke Martapura.[38] Pada masa kejayaannya, wilayah yang
pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi
titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari
negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) di timur laut
yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas dan Karasikan
(Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada raja Banjar. Selain itu
dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung).[24] Negeri-negeri bekas milik Tanjungpura
yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah barat Tanjung
Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo),
Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan perbatasan
kuno antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala
Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan
(sekarang Tanjung Mangkalihat) adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin
dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim daerah-daerah di
sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno
juga pernah mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah
membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. [39][40]Perbatasan di pedalaman, daerah aliran
sungai Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan
Kotawaringin (bawahan Banjarmasin) yang dinamakan
daerah Lawai[41] Sanggau dan Sintang juga dimasukan
dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar.
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari
awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan
Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu
Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan
Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari
Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung
dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad
ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan
Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan
Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak
pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun
1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti
juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang
saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia)
yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut
tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi
oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh
berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
§
Sejak ibukota dipindahkan ke Daerah Martapura[44] maka kota
Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan
Sultan Banjar.
§
Wilayah teritorial/ring kedua, Negara
Agung terdiri
dari :
1. Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :
1. Satui
3. Maluka,
daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang
Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
2. Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan
Pulau Tatas (Banjarmasin bagian Barat). Tahun 1709[45][46] atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas
(Banjarmasin bagian barat) merupakan daerah yang mula-mula dimiliki VOC_Belanda.[47] Pulau Tatas termasuk daerah yang diserahkan kepada
VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa
diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin)
sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan
sampai 1860.
4. Banua Ampat artinya banua
nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai 1860.
8. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai
Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan
sampai 1860.
9. Pulau Bakumpai yaitu
tebing barat sungai Barito dari
kuala Anzaman ke hilir sampai kuala Lupak. Diserahkan kepada Hindia Belanda
pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
10. Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787, Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun
Hilir) danTamiang Layang (Dusun
Timur) dan sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti Kesultanan Banjar hingga
dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
KERAJAAAN TIDUNG
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan
nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidungdi utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan
di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung
Palas. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur
pulau Tarakan yakni, dikawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of
Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah kepesisir barat pulau Tarakan yakni, dikawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi
tetap dipesisir barat yakni, kekawasan sungai bidang kira-kira pada tahun
1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, kekawasan Pimping bagian barat dan kawasanTanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
Raja-raja dari Kerajaan Tidung Kuno
Kerajaan
Tidung Kuno adalah Suatu Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Raja, dimana
pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah dengan wilayah yang kecil/kampung.
§
Benayuk
dari sungai Sesayap, Menjelutung (Masa Pemerintahan ± 35 Musim)
Berakhirnya
zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan
angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ
runtuh dan tenggelam kedalam air (sungai) berikut warganya. Peristiwa tersebut
dikalangan suku
Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai
mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
§
Yamus
(Si Amus) (Masa Pemerintahan ± 44 Musim)
Selang
15 (lima belas) musim setelah Menjelutung runtuh seorang keturunan Benayuk yang
bernama Yamus (Si Amus) yang bermukim di Liyu Maye mengangkat diri sebagai raja
yang kemudian memindahkan pusat pemukiman ke Binalatung (Tarakan). Yamus
memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim, setelah wafat Yamus digantikan
oleh salah seorang cucunya yang bernama Ibugang (Aki Bugang).
§
Ibugang
(Aki Bugang)
Ibugang
beristrikan Ilawang (Adu Lawang) beranak tiga orang. Dari ketiga anak ini hanya
seorang yang tetap tinggal di Binalatung yaitu bernama Itara, yang satu ke
Betayau dan yang satu lagi ke Penagar.
§
Itara
(Lebih kurang 29 Musim)
Itara
memerintah selama 29 (dua puluh sembilan) musim. Setelah wafat Anak keturunan
Itara yang bernama Ikurung kemudian meneruskan pemerintahan dan memerintah
selama 25 (dua puluh lima) musim
§
Ikurung
(Lebih kurang 25 Musim)
Ikurung
beristrikan Puteri Kurung yang beranakkan Ikarang yang kemudian menggantikan
ayahnya yang telah wafat.
§
Ikarang
(Lebih kurang 35 Musim), di Tanjung Batu (Tarakan).
Ikarang
memerintah selama 35 (tiga puluh lima) musim di Tanjung Batu (Tarakan).
§
Karangan
(Lebih kurang Musim)
Karangan
yang bristrikan Puteri Kayam (Puteri dari Linuang Kayam) yang kemudian
beranakkan Ibidang.
§
Ibidang
(Lebih kurang Musim)
§
Bengawan
(Lebih kurang 44 Musim)
Diriwayatkan
sebagai seorang raja yang tegas dan bijaksana dan wilayah kekuasaannya di
pesisir melebihi batas wilayah pesisir Kabupaten Bulungan sekarang yaitu dari
Tanjung Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di Kudat (Sabah,
Malaysia). Diriwayatkan pula bahwa Raja Bengawan sudah menganut Agama Islam dan
memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim. Setelah Bengawan wafat ia
digantikan oleh puteranya yang bernama Itambu
§
Itambu
(Lebih kurang 20 Musim)
§
Aji
Beruwing Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
§
Aji
Surya Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
§
Aji
Pengiran Kungun (Lebih kurang 25 Musim)
§
Aji
nata Djaya (Kurang 20 Musim)
§
Pengiran
Tempuad (Lebih kurang 34 Musim)
Pengiran
Tempuad kemudian kawin dengan raja perempuan suku Kayan di Sungai Pimping
bernama Ilahai.
§
Aji
Iram Sakti (Lebih kurang 25 Musim) di Pimping, Bulungan
Aji
Iram Sakti mempunyai anak perempuan yang bernama Adu Idung. Setelah Aji Iram
Sakti wafat kemudian digantikan oleh kemanakannya yang bernama Aji Baran Sakti
yang beristrikan Adu Idung. Dari perkawinan ini lahirlah Datoe Mancang
§
Aji
Baran Sakti (Lebih kurang 20 Musim).
§
Datoe
Mancang (Lebih kurang 49 Musim)
Diriwayatkan
bahwa masa pemerintahan Datoe Mancang adalah yang paling lama yaitu 49 (empat
puluh sembilan) musim
§
Abang
Lemanak (Lebih kurang 20 Musim), di Baratan, Bulungan
Setelah
Abang Lemanak wafat, ia kemudian digantikan oleh adik bungsunya yang bernama
Ikenawai (seorang wanita).
§
Ikenawai
bergelar Ratu Ulam Sari (Lebih kurang 15 Musim)