Jumat, 23 Mei 2014

COKELAT KEBERANIAN


COKELAT  KEBERANIAN

                Aku adalah  Nina, gadis yang baru menyelesaikan Ujian Nasional tingkat SMP terdiam di depan balkon. Saat ini, mataku terpaku ke lapangan. Aku  melihat lapangan sekolah sudah mulai ramai oleh kendaraan. Dewi, teman sekelasku  menyapa  dan ikut menatap k earah lapangan.
                “Lo nungguin dia lagi? Gak bosen apa nungguin dia melulu. Kita sedikit lagi mau lulus loh dari sekolah ini.” gerutu Dewi.
                “Haha… udah kebiasaan gue kali nungguin dia yaah walau dia nggak nyadar. Lagian gue ada surprise nih. Gue mau ngasih dia hadiah berupa coklat” jawab Nina sambil tertawa.
                Dewi hanya berceloteh yang tidak kudengarkan karena ternyata orang yang kutunggu sudah datang. Dia adalah Ari, cowok dari kelas IX-1 yang kusukai selama 3 tahun. Cowok yang membuatku semangat dalam menjalani sekolahku di kelas VII dan VIII.  Sayang, aku dan dia harus pisah kelas di kelas IX karena aku berada di kelas X-7. Kelasku dan kelas dia sangat berjauhan sekali. Begitulah kebiasaanku selama di kelas IX.
                Teriakan Bapak Jado terdengar keras dengan pengeras suara agar menyuruh  kami semua untuk upacara. Aku segera turun bersama Dewi tanpa lupa membawa topi. Aku sudah siap di barisan yang kelima. Aku tahu kalau tubuhku ini sangat mungil setelah Dewi tapi masalah keras kepala akulah yang menang. Di barisan ke lima, aku dapat melihat dia walau aku hanya melihat kepalanya saja. Aku tersenyum sendiri. Dia tertawa bersama teman-temannya yang aku benci.
                Panas matahari terasa terik, Pembina upacara yang mengerti perasaan kami memberi amanat yang sedikit dengan ucapan selamat ke kelas IX karena telah menyelesaikan Ujian Nasional. Aku  merasa senang karena sedikit lagi upacara selesai.
                Upacara dibubarkan. Kelas VII dan VIII memasuki kelas sedangkan kelas IX diizinkan untuk pulang. Aku berencana bersama teman-temanku bermain monopoli di depan perpustakaan. Kami bermain dengan ricuh.  Aku mengetahui, Ari dan teman-temannya bermain bola. Aku merasa sangat senang dan sedih. Ini mungkin terakhir kalinya aku melihat dia bermain bola.


Disekolah itu memang sangat mengherankan
Bahkan laki-laki yang biasa saja menjadi terlihat keren
Pada awalnya kukira hanya ilusi belaka
Ternyata dirikulah yang salah sangka
Gerakan dia bermain bola sangat santai. Aku tahu bahwa cita-cita dia adalah menjadi pemain bola professional. Kulitnya yang hitam terlihat bersinar oleh matahari pagi menjelang siang. Dia tertawa riang bermain bola malah larian dia makin cepat melebihi lari saat dia kelas VII. Ari telah berubah. Jerawat mulai bermunculan berbeda dengan wajah cerah yang pertama kali aku lihat.
Tendangan bola Ari masuk ke gawang. Dia bersama teman-temannya saling bertepuk tangan kegembiraan. Mereka bermain tanpa memerdulikan waktu yang menunjukkan kegiatan belajar mengajar di sekolah masih berlangsung. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
                Mereka selesai bermain bola tanpa aku ketahui siapa yang memenangkan. Aku kebingunan padahal aku bersama temanku sedang seru-seru main monopoli. Tangan kananku yang memegang gelas kecil berisi dadu terdiam tanpa bergerak. Tatapan mataku juga pasti terlihat jelas kosong. Teman-temanku tahu diam ini berbeda dari biasanya. Lena yang melihatku gelisah bertanya padaku mengapa aku gelisah. Aku terdiam malu-malu.
                “Gue ingin memberi hadiah ke gue sukai tetapi gue sangat malu. Masak iya sih, cewek harus memberi hadiah berisi pengakuan ke dia. Itu sama aja ngeruntuhin harga diri gue yang selama ini gue bertingkah jaim di depan dia. ” jawabku sambil melepas gelas kecil sambil memeluk lutut.
                Lena terkejut dan bertanya siapa yang akan kuberi hadiah. Aku menjawab bahwa Ari, teman sekelas Lena. Lena tertawa dan mendukungku. Dukungan Lena malah membuatku malu. Gea yang mendengar perkataanku hanya mengelus dada.
                “Nin, lo tuh udah suka ama dia lama banget. Itu semua tergantung usaha lo. Lagian dikit lagi jam setengah sepuluh, anak-anak kelas IX harus pulang.” kata Gea tanpa mengetahui bahwa Dewi telah datang.
                “Bener kata Gea. Lo udah nyiapin hadiah buat dia. Gak perlu lo pikirin bagaimana tanggapan orang lain tentang lo. Lo tetap harus jadi diri lo sendiri. Ingetkan ada quote begini, Tuhan yang memberi lo hidup, lo yang ngejalanin dan orang lain yang ngomentariin. Lo ambil positifnya, lo harus berani ngelawan hidup ini atau lo akan menyesal jika lo melakukan hal yang ingin banget lo lakuin. Nggak usah peduliin tanggapan orang lain tentang lo. Kejar dia! Kejar dia!” kata Dewi.
Aku yang merasa seketika mendapat tamparan yang berisi semangat. Aku segera mengambil hadiah yang telah kusiapkan dengan kertas kado yang lucu. Aku berlari sekuat tenaga saat ku melihat Ari bersama teman-temannya menaiki tangga.
Kusuka dirimu kusuka
Kuberlari sekuat tenaga
Ku suka, selalu kusuka
Ku teriak sebisa suaraku
Kusuka, dirimu ku suka
Walau susah untuk bernafas
Tak akan ku sembunyikan
Oogoe daiyamondo

                Ari dan teman-temannya mengetahui aku mengejarnya di tangga sekolah. Aku memanggil bahkan berteriak memanggil Ari. Ari berdiri di depan kelas X-5 lalu sekilas melirik diriku. John, teman sekelasku yang di kelas VIII tertawa kecil. Aku menguntuk John agar John segera mati saja ke laut agar tubuhnya yang penuh lemak itu dimakan ikan-ikan kecil bahkan hiu saja!
                Aku menghiraukan John. Aku bertatapan dengan Ari tepat bola matanya. Wajahku terasa memerah seperti kepiting rebus . Aku langsung saja memberinya hadiah berisi coklat. Ari menerimanya dengan diam.
“Terima kasih selama 3 tahun ini kamu meberiku semangat menjalani hidup di sekolah. Sedikit lagi kita akan berpisah. Aku akan selalu bersemangat. Terima kasih karena kamu jugalah yang membuatku menyukaimu. Itu hal terindah yang kurasakan. Ku harap kau mau memakan hadiah kecil ini. Terima kasih!” kataku dengan suara yang pelan. Aku langsung berlari tanpa mengetahuinya jawabannya.


Jika kusuka, kan ku katakan suka
Tak ku tutupi, ku katakan sejujurnya
Jika kusuka, kan ku katakan suka
Dari hatiku dengan tulus ku katakan…

Aku berlari-lari sambil tersenyum sendiri. Hatiku sangat gembira malah mungkin aku bisa saja menjadi gila. Lena yang menunggu memberi ucapan selamat keberhasilan. Aku menceritakan kepadanya bagaimana aku memberi  hadiahnya padanya. Lena tertawa kecil karena tingkah yang tidak biasa ia lihat dari tingkahku. Lena mengetahui kalau aku ini pemberani tapi pemalu di depan cowok yang kusukai. Kami berjalan pulang bersama.
                Seminggu kemudian, aku memberanikan diri mengirim sms kepadanya. Aku menanyakan bagaimana tanggapan dia  tentang diriku. Dia membalas cukup lama. Rasa menunggu balasan smsnya lebih capek daripada mengelilingi lapangan 10 putaran.
                Dia membalas kalau dia takut aku sakit hati mengetahui jawabannya. Aku membalas cepat bahwa aku tidak akan sakit hati. Dia membalas lama berbeda dengan kelas VII. Waktu kelas VII aku dan dia sering mengirim sms.
                “Lo terlalu cuek pada orang lain malah lo seakan gak memperdulikan banyak orang yang memanggil lo” itu salah satu tanggapan dia tentang aku. Aku yang membacanya terdiam. Aku segera membalasnya.
                “Yailah gue cuek gimana gak cuek kalau orang yang manggil-manggil gue hanya sekumpulan orang tolol yang menertawakan gue di belakang gue!”  rasanya aku ingin membalas begitu tetapi yang aku kirim.
“Ya.. gue tahu diri kok kalau gue ini orangnya cuek banget tetapi kayaknya gue nggak bisa ngubah kebiasaan gue soalnya ini merupakan sifat alami gue.”
Itulah sms terakhir dariku. Ari tidak pernah membalas sms ku lagi. Mungkin ini takdir. Aku dan Ari mungkin hanya saling mengenal nama. Dia tidak peduli lagi!
                Juni pun tiba, aku dan Ari akan melanjutkan sekolah. Aku dan Ari tidak berada di satu sekolah yang sama malah kami bersekolah yang jaraknya sangat berjauhan. Hari demi hari aku lewatkan. Aku berusaha mencoba untuk melupakan dirinya dan sampai sekarang aku tidak ingin mengetahui perasaannya padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar