COKELAT KEBERANIAN
Aku
adalah Nina, gadis yang baru
menyelesaikan Ujian Nasional tingkat SMP terdiam di depan balkon. Saat ini, mataku
terpaku ke lapangan. Aku melihat
lapangan sekolah sudah mulai ramai oleh kendaraan. Dewi, teman sekelasku menyapa
dan ikut menatap k earah lapangan.
“Lo
nungguin dia lagi? Gak bosen apa nungguin dia melulu. Kita sedikit lagi mau
lulus loh dari sekolah ini.” gerutu Dewi.
“Haha…
udah kebiasaan gue kali nungguin dia yaah walau dia nggak nyadar. Lagian gue
ada surprise nih. Gue mau ngasih dia
hadiah berupa coklat” jawab Nina sambil tertawa.
Dewi
hanya berceloteh yang tidak kudengarkan karena ternyata orang yang kutunggu
sudah datang. Dia adalah Ari, cowok dari kelas IX-1 yang kusukai selama 3
tahun. Cowok yang membuatku semangat dalam menjalani sekolahku di kelas VII dan
VIII. Sayang, aku dan dia harus pisah
kelas di kelas IX karena aku berada di kelas X-7. Kelasku dan kelas dia sangat
berjauhan sekali. Begitulah kebiasaanku selama di kelas IX.
Teriakan
Bapak Jado terdengar keras dengan pengeras suara agar menyuruh kami semua untuk upacara. Aku segera turun
bersama Dewi tanpa lupa membawa topi. Aku sudah siap di barisan yang kelima.
Aku tahu kalau tubuhku ini sangat mungil setelah Dewi tapi masalah keras kepala
akulah yang menang. Di barisan ke lima, aku dapat melihat dia walau aku hanya
melihat kepalanya saja. Aku tersenyum sendiri. Dia tertawa bersama
teman-temannya yang aku benci.
Panas
matahari terasa terik, Pembina upacara yang mengerti perasaan kami memberi
amanat yang sedikit dengan ucapan selamat ke kelas IX karena telah
menyelesaikan Ujian Nasional. Aku merasa
senang karena sedikit lagi upacara selesai.
Upacara
dibubarkan. Kelas VII dan VIII memasuki kelas sedangkan kelas IX diizinkan
untuk pulang. Aku berencana bersama teman-temanku bermain monopoli di depan
perpustakaan. Kami bermain dengan ricuh.
Aku mengetahui, Ari dan teman-temannya bermain bola. Aku merasa sangat senang
dan sedih. Ini mungkin terakhir kalinya aku melihat dia bermain bola.
Disekolah
itu memang sangat mengherankan
Bahkan
laki-laki yang biasa saja menjadi terlihat keren
Pada
awalnya kukira hanya ilusi belaka
Ternyata
dirikulah yang salah sangka
Gerakan dia bermain
bola sangat santai. Aku tahu bahwa cita-cita dia adalah menjadi pemain bola
professional. Kulitnya yang hitam terlihat bersinar oleh matahari pagi
menjelang siang. Dia tertawa riang bermain bola malah larian dia makin cepat
melebihi lari saat dia kelas VII. Ari telah berubah. Jerawat mulai bermunculan
berbeda dengan wajah cerah yang pertama kali aku lihat.
Tendangan bola Ari
masuk ke gawang. Dia bersama teman-temannya saling bertepuk tangan kegembiraan.
Mereka bermain tanpa memerdulikan waktu yang menunjukkan kegiatan belajar
mengajar di sekolah masih berlangsung. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
Mereka
selesai bermain bola tanpa aku ketahui siapa yang memenangkan. Aku kebingunan
padahal aku bersama temanku sedang seru-seru main monopoli. Tangan kananku yang
memegang gelas kecil berisi dadu terdiam tanpa bergerak. Tatapan mataku juga
pasti terlihat jelas kosong. Teman-temanku tahu diam ini berbeda dari biasanya.
Lena yang melihatku gelisah bertanya padaku mengapa aku gelisah. Aku terdiam malu-malu.
“Gue
ingin memberi hadiah ke gue sukai tetapi gue sangat malu. Masak iya sih, cewek harus memberi hadiah berisi pengakuan ke dia.
Itu sama aja ngeruntuhin harga diri gue yang selama ini gue bertingkah jaim di
depan dia. ” jawabku sambil melepas gelas kecil sambil memeluk lutut.
Lena
terkejut dan bertanya siapa yang akan kuberi hadiah. Aku menjawab bahwa Ari,
teman sekelas Lena. Lena tertawa dan mendukungku. Dukungan Lena malah membuatku
malu. Gea yang mendengar perkataanku hanya mengelus dada.
“Nin,
lo tuh udah suka ama dia lama banget. Itu semua tergantung usaha lo. Lagian
dikit lagi jam setengah sepuluh, anak-anak kelas IX harus pulang.” kata Gea
tanpa mengetahui bahwa Dewi telah datang.
“Bener
kata Gea. Lo udah nyiapin hadiah buat dia. Gak perlu lo pikirin bagaimana
tanggapan orang lain tentang lo. Lo tetap harus jadi diri lo sendiri. Ingetkan
ada quote begini, Tuhan yang memberi lo
hidup, lo yang ngejalanin dan orang lain yang ngomentariin. Lo ambil
positifnya, lo harus berani ngelawan hidup ini atau lo akan menyesal jika lo
melakukan hal yang ingin banget lo lakuin. Nggak usah peduliin tanggapan orang
lain tentang lo. Kejar dia! Kejar dia!” kata Dewi.
Aku yang merasa
seketika mendapat tamparan yang berisi semangat. Aku segera mengambil hadiah
yang telah kusiapkan dengan kertas kado yang lucu. Aku berlari sekuat tenaga
saat ku melihat Ari bersama teman-temannya menaiki tangga.
Kusuka
dirimu kusuka
Kuberlari
sekuat tenaga
Ku
suka, selalu kusuka
Ku
teriak sebisa suaraku
Kusuka,
dirimu ku suka
Walau
susah untuk bernafas
Tak
akan ku sembunyikan
Oogoe
daiyamondo
Ari
dan teman-temannya mengetahui aku mengejarnya di tangga sekolah. Aku memanggil
bahkan berteriak memanggil Ari. Ari berdiri di depan kelas X-5 lalu sekilas
melirik diriku. John, teman sekelasku yang di kelas VIII tertawa kecil. Aku
menguntuk John agar John segera mati saja ke laut agar tubuhnya yang penuh
lemak itu dimakan ikan-ikan kecil bahkan hiu saja!
Aku
menghiraukan John. Aku bertatapan dengan Ari tepat bola matanya. Wajahku terasa
memerah seperti kepiting rebus . Aku langsung saja memberinya hadiah berisi
coklat. Ari menerimanya dengan diam.
“Terima kasih selama 3
tahun ini kamu meberiku semangat menjalani hidup di sekolah. Sedikit lagi kita
akan berpisah. Aku akan selalu bersemangat. Terima kasih karena kamu jugalah
yang membuatku menyukaimu. Itu hal terindah yang kurasakan. Ku harap kau mau
memakan hadiah kecil ini. Terima kasih!” kataku dengan suara yang pelan. Aku
langsung berlari tanpa mengetahuinya jawabannya.
Jika
kusuka, kan ku katakan suka
Tak
ku tutupi, ku katakan sejujurnya
Jika
kusuka, kan ku katakan suka
Dari
hatiku dengan tulus ku katakan…
Aku berlari-lari
sambil tersenyum sendiri. Hatiku sangat gembira malah mungkin aku bisa saja
menjadi gila. Lena yang menunggu memberi ucapan selamat keberhasilan. Aku
menceritakan kepadanya bagaimana aku memberi
hadiahnya padanya. Lena tertawa kecil karena tingkah yang tidak biasa ia
lihat dari tingkahku. Lena mengetahui kalau aku ini pemberani tapi pemalu di
depan cowok yang kusukai. Kami berjalan pulang bersama.
Seminggu
kemudian, aku memberanikan diri mengirim sms kepadanya. Aku menanyakan bagaimana
tanggapan dia tentang diriku. Dia
membalas cukup lama. Rasa menunggu balasan smsnya lebih capek daripada mengelilingi
lapangan 10 putaran.
Dia
membalas kalau dia takut aku sakit hati mengetahui jawabannya. Aku membalas
cepat bahwa aku tidak akan sakit hati. Dia membalas lama berbeda dengan kelas
VII. Waktu kelas VII aku dan dia sering mengirim sms.
“Lo terlalu cuek pada orang lain malah lo
seakan gak memperdulikan banyak orang yang memanggil lo” itu salah satu
tanggapan dia tentang aku. Aku yang membacanya terdiam. Aku segera membalasnya.
“Yailah gue cuek gimana gak cuek kalau orang
yang manggil-manggil gue hanya sekumpulan orang tolol yang menertawakan gue di
belakang gue!” rasanya aku ingin
membalas begitu tetapi yang aku kirim.
“Ya..
gue tahu diri kok kalau gue ini orangnya cuek banget tetapi kayaknya gue nggak
bisa ngubah kebiasaan gue soalnya ini merupakan sifat alami gue.”
Itulah sms terakhir
dariku. Ari tidak pernah membalas sms ku lagi. Mungkin ini takdir. Aku dan Ari
mungkin hanya saling mengenal nama. Dia tidak peduli lagi!
Juni
pun tiba, aku dan Ari akan melanjutkan sekolah. Aku dan Ari tidak berada di
satu sekolah yang sama malah kami bersekolah yang jaraknya sangat berjauhan. Hari
demi hari aku lewatkan. Aku berusaha mencoba untuk melupakan dirinya dan sampai
sekarang aku tidak ingin mengetahui perasaannya padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar